AR Baswedan
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
AR Baswedan (lahir Kampung Ampel, Surabaya, Jawa Timur, 11 September 1908) adalah nama populer dari Abdurrahman Baswedan, seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante.
Daftar isi |
[sunting] Wartawan Tangguh
AR Baswedan adalah seorang pemberontak. Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. AR Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat bahasa Jawa logat Surabaya, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab -- ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabithah Alawiyah -- berang padanya. Ia menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. Di mana saya lahir, di situlah tanah airku, kata lelaki itu.
Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan AR Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. Demi perjuangan, katanya.
AR Baswedan kemudian mendapat rekan seperjuangan di Surabaya, Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda. Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Kok bukan Abu Nawas? Menurut Baswedan, Abu Nawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda. Makanya, ia senang dengan nama Abun Awas daripada Abu Nawas.
Liem Koen Hian dan Baswedan sama-sama pedas bila menulis. Direkturnya pun menegur, karena ada peringatan dari pemerintah Belanda. AR Baswedan dan kawan-kawan akhirnya memilih keluar daripada berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Ia memang wartawan tangguh. Bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden -- waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Toh ia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Karena itu, Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.
Gagasan dan perjuangan AR Baswedan telah membuat keturunan Arab di Indonesia menyatakan “turun-kelas” dan pada tahun 1934 mengumandangkan sumpah pemuda. Pemuda Indonesia keturunan Arab bersumpah bahwa mereka putra-putri Indonesia dan mengaku Indonesia sebagai tumpah darah ibu pertiwi. PAI itu sendiri adalah sebuah partai yang bertujuan merebut kemerdekaan bagi Indonesia dan bukan partai yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan keturunan Arab.
Atas dasar pemikiran itulah maka PAI secara sengaja dan sadar membubarkan diri setelah Indonesia merdeka karena tujuan perjuangan partai telah tercapai yaitu kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin dan anggota PAI lalu menyebar di berbagai partai lain sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk berjuang mengisi kemerdekaan.
Perjuangan AR Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan) melobi pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de yure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
AR Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 minggu kemudian, kondisi kesehatan AR Baswedan menurun dan meninggal. AR Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Wasiat AR Baswedan adalah koleksi buku-bukunya yang berjumlah sekitar 5.000 buku itu dijadikan perpustakaan. Buku-buku berbahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Indonesia itu ditata rapi (dengan katalog modern) di kamar depan -yang dahulu menjadi ruang kerjanya- di rumahnya di Yogyakarta dan masyarakat luas (terutama kaum mahasiswa) bisa dengan mudah mengakses koleksi buku-buku peninggalan AR Baswedan ini.
[sunting] Riwayat Hidup dan Perjuangan
[sunting] Masa Kecil
AR Baswedan dibesarkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat muslim. Sejak kecil AR Baswedan dididik dengan ajaran Islam yang kuat. Kiranya tidak mengherankan apabila pada diri AR Baswedan melekat jiwa demikian. Kakek Baswedan adalah seorang ulama yang berasal dari Syibam, Hadramaut. Lingkungan keluarga dan masyarakat tempat AR Baswedan dibesarkan inilah yang ikut mewarnai sikap pribadi dan kehidupan rumah tangganya di kemudian hari.
Sejak lama orang Arab telah datang ke Indonesia. Pada abad ke-18 dan 19, misalnya, masyarakat Nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada latin. Maka, mata uang di masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu, Arab Pegon atau Arab Jawi. Bahkan, pada masa itu, cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa juga ditulis dalam huruf Arab Melayu. Selain itu semua musafir dari Arab yang mendatangi Nusantara adalah laki-laki, tidak satupun dari mereka yang datang membawa istri. Mereka kemudian menikah dengan wanita yang berasal dari Nusantara. Pernikahan inilah yang menghasilkan keturunan Arab di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, wajarlah bila Indonesia-Arab merupakan golongan yang sedemikian unik.<ref
Kebanyakan masyarakat Arab kala itu menempuh mata pencaharian sebagai pedagang. Keluarga Baswedan sendiri berada dalam lingkaran ini. Bahkan keluarga Baswedan di Surabaya dikenal sebagai konglomerat terbesar di zaman itu . Dalam diri Baswedan kecil pelan-pelan telah ditanamkan ketrampilan berniaga. Ayahnya memiliki toko dimana Baswedan sering diajak menjaga. Di sela-sela menjaga toko ayahnya mengajarkan nilai-nilai mulia tentang ajaran Islam. Kejujuran, keikhlasan, keberanian merupakan dasar-dasar pengajaran.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda masyarakat terdiri atas beberapa lapisan. Yang paling tinggi adalah lapisan golongan Belanda asli atau totok dari peranakannya. Mereka ini golongan Eropa yang memiliki segala fasilitas. Di bawah mereka adalah golongan timur asing (Vreende Oosterleng). Dalam golongan ini termasuk golongan keturunan Cina, Arab, dan India. Sementara pribumi menempati kasta yang paling rendah.
Baswedan menempuh pendidikan secara berpindah-pindah. Pertentangan batinlah yang membuatnya kerap tidak kerasan di sekolah. Pendiriannya keras dan jika tidak menemukan kecocokan dengan batinnya ia lalu memutuskan pindah sekolah. Baswedan mulai mendapat pendidikan sejak berumur lima tahun. Mula-mula ia masuk Madrasah Al-Khairiyah. Sekolah ini berdekatan dengan Mesjid Ampel yang dibangun masyarakat Arab di Surabaya.
Ia lalu memutuskan pindah sekolah, mencoba ke Jakarta untuk masuk di Madrasah Al Irsyad Jakarta yang dipimpin Syeh Ahmad Surkatie pendiri gerakan Al Irsyad. Lagi-lagi umur sekolahnya di Jakarta pun tidak panjang karena letaknya yang jauh dengan sendirinya jauh dari ayahnya membuat ia kembali balik ke Surabaya. Di Surabaya ia memutuskan masuk di Hadramaut School. Sebuah madrasah Arab yang modern kala itu. Dikatakan modern karena waktu itu murid-muridnya memakai celana dan diajarkan juga sastra Arab. Di sekolah ini Baswedan dapat menyalurkan dan memupuk kesenangannya berbahasa Arab.
[sunting] Menulis sebagai Alat Perjuangan
Cita-cita Baswedan bukanlah menjadi pedagang seperti yang diinginkan keluarga. Ia memilih jalur hidup sendiri. Ingin menjadi jurnalis, yang bisa terjun dalam dunia pergerakan nasional. Keinginan Baswedan ini cukup nampak sewaktu masih remaja. Disela-sela menjaga toko ayahnya waktu luangnya dihabiskan untuk membaca buku. Bagi Baswedan membaca adalah kegiatan menyimak, merenung, berpikir dan melahirkan daya kontemplasi.
Pada tahun 1932 Baswedan masuk menjadi anggota redaksi harian Tionghoa Melayu di Surabaya, “Sin Tit Po”, pimpinan Liem Koen Hian, seorang peranakan Tionghoa, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Masuknya Baswedan ke Sin Tit Po diawali saat hendak memenuhi permintaan mertuanya yang mulai membuka usaha rokok kretek. Ia pergi ke Surabaya untuk pemasarannya dan secara kebetulan berjumpa dengan Liem Koen Hian. Pemimpin redaksi harian Tionghoa Melayu itu menawarkan pada Baswedan kerjasama untuk sering menulis di Sin Tit Po. Sebelum pertemuan itu Liem Koen Hian sudah mengenal nama Baswedan melalui sebuah tulisan di Sin Tit Po.
Bagi Baswedan pertemuannya dengan Liem Koen Hian ia manfaatkan untuk menyampaikan keinginannya menjadi seorang jurnalis. Namun, menulis saja tidaklah cukup baginya, kurang menarik. Ia teringat kata-kata Haji Agus Salim yang mengatakan, bahwa belajar jurnalistik itu sebaiknya bukan pada teorinya, tetapi duduk dalam staf redaksi suatu surat kabar. Liem Koen Hian mengangguk, dan berjanji akan menyampaikan maksud Baswedan pada direkturnya.
Akhirnya, Baswedan benar-benar dipanggil Sin Tit Po dan bekerja sebagai redaktur. Sejak saat itu dirinya tercatat sebagai wartawan Sin Tit Po. Sin Tit Po sendiri meski dipenuhi oleh orang-orang Tioanghoa dalam penerbitannya mendukung pergerakan nasional bangsa Indonesia. Sebagai wartawan baru, Baswedan digaji dengan gaji 75 gulden sebuah angka yang besar pada saat itu. Jumlah yang jauh diluar perkiraan Baswedan sendiri. Tentu suatu hal yang menyenangkan. Selain mendapat gaji yang besar, dengan duduk di Dewan Redaksi Baswedan bisa belajar jurnalistik.
Di Sin Tit Po Baswedan mengisi kolom atau pojok dengan nama “Abunawas”. Baswedan menjadi penjaga gawangnya, dengan nama samaran Abun Awas. Menurut Baswedan, Abunawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Kolom ini dia isi dengan tulisan-tulisan terkait dengan kejadian mengenai Belanda, maupun kritiknya bagi kaum Arab yang sulit diajak berpikir tentang persatuan. Untuk hal yang mengenai Belanda kritik-kritik pun ia lepaskan secara tajam, bernas, kadang menyakitkan.
Baswedan diuntungkan oleh kebijakan redaksi yang mempunyai kecenderungan mendukung gerakan nasional. Kebijakan ini membuat gerakan nasional mendapat tempat yang cukup dalam halaman berita. Wajah Sin Tit Po ini mengundang perhatian pemimpin gerakan nasional kala itu. Sejumlah tokoh pergerakan tidak jarang yang mengirimkan tulisan ke Sin Tit Po. Isi tulisannya berkisar pembakaran semangat juang bangsa Indonesia. Tampilan Sin Tit Po yang garang mengundang reaksi keras dari importir-importir perusahan Belanda, yang mengancam akan mencabut dukungan melalui sisi advertensi. Sebagai koran Tionghoa, Sin Tit Po pada waktu itu bersaing dengan surat kabar Tionghoa yang oplahnya besar ialah “Pewarta Surabaya”. Meskipun koran itu berbahasa Indonesia tetapi lebih condong pada kebijakan-kebijakan Belanda, dan sepenuhnya Pewarta Surabaya ini dikuasai oleh Tionghoa. Baswedan sering diingatkan pimpinan Sin Tit Po untuk tidak terlalu tajam dalam mengkritik Belanda.
Satu tahun di Sin Tit Po, Baswedan pindah. Rupanya ia tidak cukup kerasan. Bersama Tjoa Tjie Liang, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris Partai Tionghoa Indonesia, Baswedan pindah ke Soeara Oemoem dengan alasan ia tidak mau jika harus berkompromi dengan Belanda melalui pelunakan tulisan di kolom Abunawas. Ia digaji Soeara Oemoem hanya 10-15 gulden sebulan, jauh dari yang diterima di Sin Tit Po. Harian ini direkturnya adalah dr. Soetomo. Kehadiran kedua orang peranakan ini membuat dr. Soetomo mendapat kecaman dari harian Bintang Timur di Jakarta, yang mempertanyakan kenapa dr. Soetomo mau menerima orang yang bukan bangsa Indonesia. Melalui harian Soeara Oemoem, Soetomo ingin menunjukkan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak mengenal keturunan maupun agama.
Petualang Baswedan dalam jurnalistik berlanjut di harian Matahari ketika pada tahun 1934 pindah ke Semarang. Harian Matahari adalah sebuah koran Tionghoa Melayu di bawah pimpinan Kwee Hing Tjiat yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang pembantunya ialah Sudaryo Cokrosisworo wartawan kenamaan pada zamannya. Tjoa Tjie Liang juga menjadi kolega AR Baswedan di Matahari. Persahabatan yang erat dengan orang Tionghoa menunjukkan bahwa Baswedan mudah diterima siapa saja.
Dalam menekuni dunia yang ia citakan Baswedan memiliki ketegasan sikap dan idealisme. Seluruh koran yang ia jadikan tempat bekerja menempuh garis penerbitan yang tegas-tegas dan tanpa tedeng aling-aling memperjuangan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Dengan menjadi wartawan ia gugah kesadaran orang-orang Indonesian keturunan Arab akan pentingnya rasa kesadaran akan bangsa Indonesia sebagai tempat ia dan saudara-saudara Arab yang lain dilahirkan. Sekaligus melancarkan kritik pada Belanda yang penjajah itu. Melalui surat kabar ia berjuang. Menulis bagi Baswedan merupakan senjata yang ampuh. Tidak ada cara lain menurutnya untuk menyemai bibit persatuan Arab dan kemerdekaan Indonesia selain dengan menulis di media massa. Tak mengherankan jika Soebagio IN, dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.
Kukuhnya pendirian dan cita-cita AR Baswedan iktu menggegerkan masyarakat komunitas tempat dia berasal yaitu keturunan Arab. Suatu saat dalam surat kabar Matahari pernah dimuat foto AR Baswedan dengan pakaian jawa dan mengenakan blangkon (ikat kepala suku Jawa). Ini sebuah langkah berani karena pada masa itu tidak satupun orang keturunan Arab yang mau mengenakan Blangkon apalagi tampil di depan publik (di koran) dengan memakai Blangkon. Menurut AR Baswedan hal demikian mengandung kesengajaan untuk memprovokasi dan menimbulkan reaksi serta memancing kritik dan debat sekitar pemikiran yang dianjurkannya kepada para keturunan Arab.
[sunting] Benih Nasionalisme; Memimpin Partai Arab Indonesia
Pada harian Matahari Baswedan kerap melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi, persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang lain memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia. Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia berkaitan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide mendirikan Partai Arab Indonesia dengan pengakuannya tentang tanah air bagi peranakan Arab dicetuskan dan dikembangkan serta diperjuangkan oleh AR Baswedan. Bagi Baswedan pencetusan ide ini merupakan “revolusi pikiran”. Kelak pikiran-pikiran itu mewujud menjadi sebuah perkumpulan orang-orang Arab Indonesia. Yang kemudian dikenal sebagai Persatuan Arab Indonesia (PAI) lalu bergerak dalam politik dengan nama Partai Arab Indonesia (PAI).
Oktober 1934, di Semarang, menjadi penanda lahirnya Partai Arab Indonesia yang dipimpin oleh AR Baswedan. Pada waktu itu masyarakat Arab seluruh Indonesia digemparkan adanya Konferensi Peranakan Arab di Semarang. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Reaksi pun timbul. Sebagian menyerang AR Baswedan karena dianggap meninggalkan kebangsaan Arab yang ditaati dan melebur ke dalam bangsa Indonesia. Dari kalangan Arab peranakan juga menyerangnya karena dengan gerakan itu menimbulkan perpecahan antara keturunan Arab dengan Arab totok serta orang-orang tuanya sehingga orang tuanya banyak yang menentang usaha AR Baswedan.
Baswedan mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Berdirinya PAI hanya enam tahun setelah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Mereka membuat sumpah serupa: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.
Menurut Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelumnya, Baswedan melihat pada saat itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Baswedan berkampanye keliling berbagai kota di Indonesia hingga akhirnya berhasil membangun kesadaran baru. Keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat merah putih.
Melalui surat kabar Matahari AR Baswedan menulis artikel “Peranakan Arab dan Totoknya” yang berisi anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air, yang menjadi asas Partai Arab Indonesia (PAI). Artikel itu memuat penjelasan Baswedan tentang bagaimana sikap nasionalisme yang dianjurkan pada kaumnya. Pokok-pokok pikiran itu antara lain :
- Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia;
- Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam;
- Berdasarkan ketentuan di atas, Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia;
- Untuk memenuhi kewajiban itu, perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan;
- Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab;
- Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia.
Sebuah pengakuan yang jelas bagi Baswedan bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan Baswedan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Baswedan menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan Baswedan. Baswedan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara se tanah air. Identitas Arab dilenyapkan. Dengan sendirinya orang Arab menjadi bangsa Indonesia. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai tokoh nasional. Rintisan Baswedan menuai buah.
[sunting] Menentang Jepang
PAI berhasil didirikan dan Baswedan menjadi pemimpinnya. Dengan lahirnya PAI, kaum Arab mulai merajut persatuan. Mereka dipersatukan oleh keyakinan baru sebagai putra-putra Indonesia dan ditarik dari isolasi berpikir maupun dari ruang bergerak di lingkungannya berpuluh tahun. Untuk kemudian mulai memasuki gelanggang perjuangan nasional dan bergabung dengan saudara-saudaranya yang sebangsa untuk memerdekakan tanah air dan bangsanya.
Pada awalnya PAI bernama Persatuan Arab Indonesia, bukan partai. Pada perkembangan berikutnya kata persatuan diganti dengan partai sebagai wujud perjuangan di bidang sosial politik. PAI berjuang bersama kaum pergerakan nasional lainnya melawan pemerintah kolonial. PAI bergabung menjadi anggota GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Sampai akhirnya kedatangan Jepang membubarkan GAPPI.
Di samping itu Jepang melakukan penertiban terhadap semua media massa yang berbentuk penerbitan surat kabar, majalah dan siaran radio, semuanya dikuasai dan dikendalikan oleh Jepang. Surat-surat kabar yang terbit harus ada izin khusus dari pemerintah Jepang. Kalau tidak memiliki izin khusus dilarang. Pada waktu zaman Jepang ada suatu badan sensor. Adapun surat kabar yang dilarang terbit ada yang berbahasa Belanda dan ada pula yang berbahasa Cina. Selain yang berbahasa itu, yang berbahasa Indonesia adalah surat kabar Pemandangan dan Cahaya Timur. Ada lagi yang di Bandung Sipatahuman dan Paguyuban Pasundan. Ada lagi di Mataram surat kabar lain Sedyo Tomo. Di Semarang surat kabar berbahasa Belanda bernama Lokomotif. Ada lagi surat kabar Matahari, Daya Upaya dan Suara Semarang.
Kantor Berita Antara pun masuk dalam daftar cekal oleh Jepang. Baswedan yang saat itu duduk sebagai pembina mencoba melawan. Akibatnya, ia ditangkap oleh Kenpetai, semacam Polisi Militer Jepang. Bagi Jepang ia dinilai menghambat kinerja pemerintah pendudukan. Dinterogasi menjadi kebiasaan bagi Baswedan karena sikapnya yang keras menentang. Karakter Baswedan sebagai seorang nasionalis Indonesia dan semangat anti Belanda yang membara itu yang membuat Kenpetai (Polisi Miiter Jepang) melunak.
Pada permulaan berkuasa Jepang mengeluarkan peraturan adanya keharusan tiap-tiap keluarga turunan asing Cina dan Arab mempunyai kartu penduduk suami-istri sendiri–sendiri lengkap dengan fotonya. AR Baswedan secara diam-diam menganjurkan agar peranakan Arab tidak mendaftarkan diri sebagai orang bukan-Indonesia. Baswedan menolak pendaftaran sebagai orang non-Indonesia. Akibat sikap demikian Baswedan harus menelan pil pahit. Dia ditangkap kembali.
Selama berkuasa di Indonesia, Jepang berlaku fasistis. Tidak kenal kompromi dengan negeri jajahan. Baswedan sering menentang sikap fasisme tersebut. Ia didukung Syahrir. Bersama Syahrir ia rapatkan barisan. Sikapnya ini ditegaskan dengan menolak diangkat menjadi Ketua Panitia Arabujeinkai seperti juga panitia Tionghoa. Karena Baswedan menolak jabatan itu diserahkan pada Ahmad Syahab berasal dari Palembang. Namun Baswedan tidak lanta diam, ia bersedia membantu di belakang secara tidak resmi. Pada saat itu AR Baswedan membantu mengemudikan dari belakang jalannya kepanitiaan itu. Ia tidak perlu tampak di muka. Maka berjuang dari belakang antara lain membuat pidato yang diucapkan Ahmad Syahab. Hal itu semuanya diketahui oleh Sukarno. Maka atas anjuran AR Baswedan Arabujeinkai minta kepada Bung Karno mengadakan kursus nasionalisme Indonesia untuk kaum peranakan Arab. Kursus-kursus semacam itu diadakan dua minggu sekali dan diselenggarakan di gedung Horokai. Hadir mengikuti kursus-kursus itu 500-1000 orang.
Keahlian Baswedan sebagai orator ulung membuat dirinya pernah dibawa oleh wakil ketuanya seorang Jepang berkeliling ke berbagai kota untuk memberi keterangan kepada warganya. Dalam berpidato ia menarik, mudah dicerna oleh rakyat bawah. Isi pidatonya bukan propaganda Nippon, tetapi serangan terhadap kolonialisme Belanda. Baswedan juga sempat duduk di Jawa Hookokai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Baswedan secara terang-terangan menjadi Jawa. Saat itu hanya Jawa Hookokai yang hidup. Setelahnya ia diangkat sebagai anggota Chuoo Sangiin, semacam Dewan Penasehat yang anggota-anggotanya diangkat oleh penguasa Jepang. Baswedan aktif terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk mempersipakan kemerdekaan Indonesia, tanpa bantuan Jepang. Dalam sidang BPUPKI Baswedan berpidato yang isinya penegasan kembali tanah air peranakan Arab Indonesia tidak lain adalah Indonesia.
[sunting] Pandangan tentang Islam dan Nasionalisme
Baswedan pernah duduk sebagai anggota parlemen dan konstituante. AR Baswedan masuk Masyumi sejak dibentuknya Parlemen Republik Indonesia di Jakarta tahun 1950 yaitu sesudah bubarnya BP KNIP di Yogyakarta, di mana ia menjadi anggota. Seiring lahirnya negara kesatuan, semua anggota BP KNIP itu dimasukkan di dalam Parlemen Negara Kesatuan. AR Baswedan memilih Masyumi oleh karena sejak sidang pertama penyusunan fraksi-fraksi ia telah memilih masuk ke dalam partai Masyumi. Di samping pengalaman sebagai anggota Parlemen ia juga termasuk salah satu anggota Badan Konstituante dari kelompok Islam. Duduknya Baswedan di Konstituante karena ia terpilih dalam daftar pemilu Masyumi untuk Parlemen dan Konstituante. Namun konstituante akhirnya lebih dipilih daripada perjuangan politik praktis di Parlemen.
Masa itu pertentangan antara kelompok Islam dan nasionalis sangat kentara. Bagi Baswedan Islam dan nasionalisme tidak ada pertentangan berarti. Baswedan mengatakan :
“Ketika saya mulai dengan PAI, saya dan teman-teman pendiri yang lain mengakui adanya Indonesia di dalam ide dan di dalam pengakuan adanya nasionalisme Indonesia. Ini perlu dikemukakan, karena ada satu hal yang kelihatannya kecil di zaman Belanda, yakni terjadinya pertentangan keras antara apa yang disebut golongan nasionalis dan Islam. Kaum nasionalis menganggap seakan-akan golongan Islam itu tidak nasionalis. Itu keliru. Sebab Syarikat Islam yang mempelopori politik non-cooperatif itu nasionalis. Tetapi perjuangannya berdasarkan Islam. Saya ambil contoh luar negeri. Partai di Maroko misalnya, disebut Partai Nasional, padahal kita tahu Maroko itu Islam. Maka, nasionalisme di situ artinya anti penjajahan. Di Indonesia, nasionalisme tidak difahami secara demikian. Di zaman Belanda, nasionalisme itu difahami sebagai orang yang tidak memakai dasar Islam. Sayangnya, sampai sekarang faham seperti itu masih ada. Ketika pada tahun 1950-an saya masuk Partai Islam Masyumi, orang-orang terkejut. Kalangan nasionalis heran, kenapa saya yang nasionalis masuk Masyumi. Saya jawab, dari dulu sampai sekarang saya ini nasionalis. Hanya saja nasionalisme saya didasarkan kepada Islam. Pemahaman nasionalisme itu berdasarkan Islam.”
[sunting] Pengabdian Tiada Henti
Pergulatan terus menerus dalam hidup tidaklah mengenal batas. Suka dan duka selalu mengiringi. Baswedan paham akan hal itu. Berjuang bukanlah fase tertentu dimana dihadapkan pada situasi dan kondisi serba tidak menyenangkan. Setelah kemerdekaan diperoleh, mengisinya adalah sebuah kewajiban. Sisa umurnya lebih banyak tercurah bagi kemanusiaan. Ia abdikan hidup sepenuhnya untuk masyarakat, bangsa dan agama. Di Yogyakarta, sebuah kota tempat republik pernah mengalami pasang surut, Baswedan tinggal. Waktunya saat itu lebih banyak digunakan bergulat dalam bidang kemasyarakat. Pembinaan umat menjadi pusat perhatiannya.
Baswedan menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ia juga mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (BAKOPA) atau Ikatan Khatib. Luas pergaulan dan mudah diterima disemua kalangan identik dengan pribadi Baswedan. Dalam pergaulan Baswedan tidak memandang perbedaan agama maupun latar belakang sosial politiknya. Seorang tokoh Islam yang moderat merupakan ciri kuat yang melekat padanya. Meski sebagai tokoh Muslim, teman terdekat Baswedan di Yogyakarta adalah YB Mangunwijaya, budayawan, rohaniawan Katholik. Kedekatan ini didasarkan atas persamaan dalam melihat masalah-masalah keprihatinan sosial.
Bagi komunitas Islam di Yogyakarta, Baswedan menjadi semacam tokoh rujukan. Komunitas itu bisa berasal dari masyarakat luas maupun lingkungan akademik intelektual kampus. Nama Baswedan tidak dapat dipisahkan dari sejarah pendirian Lembaga Dakwah Kampus Jama’ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada yang dikenal dengan sebutan JS UGM. Tahun 1976 awal cikal bakal JS dilahirkan, Baswedan adalah salah satu tokoh Islam yang mendukung penuh. JS UGM didirikan sebagai wadah pergerakan, pembinaan, pengkaderan, pengkajian dan pelayanan. Sekaligus sebagai pusat keislaman kampus UGM. Dukungan para tokoh saat itu diperlukan karena pada awal berdirinya JS mendapat ancaman pembubaran pemerintah Orde Baru. Pemerintah lewat Mendikbud kala itu Daoed Joesoef pernah memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan JS, dengan dalih banyak pengurus JS terlibat demonstrasi menentang pemberlakuan NKK/BKK pada tahun 1978, masa rezim Orde Baru.
Kehidupan Baswedan yang meliputi dunia pergerakan, dakwah, seni dan buadaya membuat Baswedan akrab dengan kalangan pemuda. Generasi muda ia anggap sebagai tonggak. Suatu ketika ia pernah berkata :
“Kalau saya bertemu dengan orang tua yang tinggal diam di rumah dan kepadanya saya kasih sesuatu hal, paling-paling hanya dipakai sendiri. Tetapi kalau saya kasih kepada pemuda, ide itu masih dapat diteruskan kepada orang lain, sebab mereka akan dapat melanjutkan hal itu. Saya mendapat ide dari orang-orang dahulu, maka ide itu harus saya teruskan kepada generasi muda untuk selanjutnya diteruskan lagi ke generasi yang akan datang, apakah diterima atau ditolak. Jikalau ilmu itu diberikan kepada pemuda akan dapat berkembang tetapi apabila diberikan kepada orang tua, mereka senang menerima tetapi lalu tinggal diam.”
Kedekatannya dengan anak-anak muda membuat Baswedan dijadikan sasaran curhat, berbagi ide dan pikiran. Anak-anak muda yang gelisah dan berjiwa pergerakan kerap keluar masuk rumah Baswedan. Kaum muda berpikir bahwa Baswedan tidak saja sebagai seorang yang dianggap guru namun juga kawan dikusi yang hangat. Salah satunya yang akrab dengannya adalah Ahmad Wahib. Pemikir muda yang meninggal di usia muda pula. Ahmad Wahib saat itu aktif di HMI dan menjadi anggota lingkaran diskusi Limited Goups di Yogyakarta yang dipimpin Mukti Ali. Ahmad Wahib boleh dibilang salah seorang anak muda kesayangannya. Baswedan sendiri tentu tidak selalu sepaham dengan pikiran-pikiran Wahib, namun ia yakin Wahib jujur dengan pikiran-pikirannya.
Sebagai wartawan pejuang Baswedan produktif menulis. Ia sastrawan, penyair, dan seniman. Pidatonya atraktif. Mahir dalam seni teater. Banyak sajak-sajak yang ia gubah. Ia menguasai bahasa Arab, juga bahasa Inggris dan bahasa Belanda, selain bahasa Indonesia tentunya. Karya AR Baswedan yang telah dibukukan antara lain: “Debat sekeliling PAI”, yang dicetak tahun 1939, beberapa catatan berjudul “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab” (1934), “Rumah Tangga Rasulullah”, diterbitkan Bulan Bintang 1940. Selain itu buah pikiran dan cita-cita AR Baswedan yang diterbitkan oleh Sekjen PAI almarhum Salim Maskati. Dan “Menuju Masyarakat Baru”, sebuah cerita Toneel dalam 5 Bagian.
[sunting] Sumber
- (en) Huub De Jonge, Abdul Rahman Baswedan and the Emancipation of the Hadramis in Indonesia, Asian Journal of Social Science, Volume 32, Number 3, 2004 , pp. 373-400(28)
- (id) Alwi Shahab, Sumpah Pemuda Arab, republika.co.id, 16 September 2007.
- (id) Howard Dick, Surabaya the City of Work, a socioeconomic History 1900-2000, Center for International Studies, Ohio University, 2002.
- (id) Suratmin, Abdurrahman Baswedan; Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, 1989, hal 49-50.
- (id) Apa dan Siapa; Abdur Rahman Baswedan, Pusat Data dan Analisa Tempo, www.pdat.co.id.
- (id) Alwi Shahab, Partai Arab Indonesia, republika.co.id, 6 Januari 2002.
- (id) Awal Sejarah Besar Itu dalam Profil Jama’ah Shalahuddin UGM, www.js.ugm.ac.id.
- (id) Lihat catatan pendahuluan Djohan Effendi dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib yang diterbitkan Pustaka LP3ES, Jakarta, cetakan keenam, Februari 2003.
- (id) AR Baswedan Dalam Pergerakan Nasional
- (id) Sumpah Pemuda Arab
- (id) Aljazair Anugerahkan Medali kepada 13 Tokoh RI