Tiga Corak Umum
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
|
Tiga Kesunyataan Mulia (Mahayana) disebut juga Tiga Corak Umum (Theravada).
Tiga Corak Umum adalah konsep Buddhis mengenai ciri umum kenyataan eksistensi seperti yang diserap oleh persepsi. Menurut tradisi Buddha semua hal-ihwal atau fenomena yang hadir dalam keberadaan selain dari Nirwana dikusasai oleh tiga ciri umum, yaitu dukkha [penderitaan], anicca [ketidakkekalan], dan anatta [ke Tiada-akuan]. Karena itu pendambaan atau pelekatan pada suatu halihwal -baik lahiriyah maupun kejiwaan (atau ideologis) - pada akhirnya akan menampakan dan membawa kesengsaraan. Dalam aliran Mahayana ciri tersebut sering kali disebut Dharma Seals [Segel Dharma] sedang dalam tradisi Theravada disebut Tilakhana atau Tiga Corak Umum.
Dalam falsafah Buddhis, Buddha menyimpulkan bahwa semua yang ada di dunia fisik [Pali "Rupa"] dan ditambah semua fenomena dari kejiwaan [Pali "Nama"] ditandai oleh 3 ciri umum ini. Segenap bentuk dan pandangan yang tampak dan tidak tampak merupakan perakitan dari Nama-Rupa (fysio-psycho phenomenology). Keberadaan alam Nama-Rupa ini adalah akibat kemampuan serap persepsi(pali: "sañña") yang pada gilirannya diakibatkan oleh pengkondisian (pali"sankhara"). Pengkondisian pada gilirannya adalah kebutuhan untuk membuat kejelasan dalam kejahilan, sedang kejahilan [Pali: "Avija"] itu sendiri diakibatkan oleh kelahiran atau keberadaan kembali. Karena segenap halihwal pada instansi terakhir bertumpu pada persepsi maka segenap halihwal mengandung Tiga Corak Umum ini karena dasarnya adalah pengkondisian yang bermula pada kejahilan.
- Dukkha
Dukkha [sanskrit duhkha] atau ketidakpuasan [sering juga diterjemahkan sebagai penderitaan] walaupun artinya sedikit melenceng]. Tidak ada di dunia ini ataupun alam psikologi amnun yang dapat memberikan kepuasan yang mendalam.
- Anicca
Anicca [sanskrit anitya] atau ketidakkekalan. Ini menunjukan bahwa semua kondisi akan hilang atau tidak kekal, tetapi juga menunjukan semua kondisi pada situasi yang terus berputar [bayangkan sebuah daun tumbuh dari sebuah pohon, daun itu akan rontok dari pohon dan digantikan dengan daun yang baru]
- Anatta
Anatta [Sanskrit anatman] atau ke Tidak-akuan, impersonal, atau Tanpa-Ego, adalah antipola dari konsep "Diri" atau Ego. Dalam tradisi Hindu ada kebenaran yang mengikat segala fenomena atau zat pengikat segala hal ihwal [Sanskrit "Atman"]. Anatta merupakan suatu ciri umum yang dimiliki oleh segenap perakitan fisik dan komponen psikologis, karena semua perakitan ini secara tersendiri tunduk kepada perubahan terus menerus dan tetap, tanpa ada kontrol dari diri pengamat. Pengenalan anatta adalah apabila pengamat dapat melihat bahwa sesungguhnya segala hal-ihwal tidak memiliki inti pusat (atau inti sari)[pali "suññata"]. Karena kekosongan makna ini maka sikap yang manusia yang logis adalah tidak berpamrih.
Sering kali Segel Dharma yang keempat disebutkan Nirwana adalah damai. Nirwana adalah ‘pantai lain’ dari Samsara
Dengan membawa ketiga [atau empat] segel pada pengalaman dari waktu ke waktu melalui kewaspadaan konsenterasi, kita akan dikatakan memperoleh kebijaksanaan – langkah ketiga dari tiga latihan yang lebih tinggi - cara keluar dari samsara. Jadi kita bisa mengidentifikasikan bahwa, menurut sutra, resep atau formula untuk emninggalkan samsara adalah diperoleh dengan menganti sudut pandangan dalam melihat dunia.
[sunting] Dukkha
Apapun yang tidak kekal adalah subjek untuk berganti, Apapun subjek yang akan berganti meupakan subjek yang menderita Sang Buddha
Berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin mengalami stress ataupun penderitaan – dukkha. Mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mungkin menemukan rasa senang dan bahagia. Kemudian, rasa tersebut akan habis dan hilang, kita akan bosan dengan hal tersebut. Bosan merupakan bentuk dari ketidakpuasan [atau penderitaan] dan untuk lepas dari hal tersebut, untuk lepas dari rasa bosan kita kan memaksa diri kita dengan bentuk kesenangan yang baru. Kadang-kadang kita masih tidak rela untuk melepaskan objek yang kita sudah tidak tertarik, kita mulai untuk mengumpulkan dan melekat pada barang dengan sifat menyerakahi daripada membaginya dengan orang lain yang mungkin lebih berguna untuknya daripada untuk kita.
Jika kita belum bosan, mungkin terjadi mungkin akan terjadi pergantian di dalam keinginan. Peralatan perak mungkin sudah tidak lagi mengkilap atau berkarat atau baju baru mungkin sudah tidak muat. Mungkin barang tersebut juga telah rusak sehingga menyebabkan kesedihan. Pada beberapa kasus mungkin hilang atau dicuri. Dan pada beberapa kasus, kita menjadi takut kehilangan seperti itu terjadi lagi. Suami dan istri sangat khawatir kehilangan pasangan mereka walaupun pasangan mereka sangatlah setia. Sayangnya hal tersebut menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan sehingga kita melakukan hal yang tidak masuk akal, menyebabkan ketidakpercayaan dan pemutusan hubungan yang sangat kita cintai.
Ketika kita ingin berubah seperti ingin mejadi dewasa ketika masih remaja, kita tidak suka dengan kata menua. Ketika kita berusaha untuk menjadi kaya, kita takut dengan penghematan. Kita sangatlah pemilih didalam sikap kita melawan sifat fana dari semua aspek kehidupan kita. Sayangnya sifat fana adalah tidak pemilih. Kita berusaha mencoba melawan ini sejak waktu yang sangat awal, usaha kita akan hanyut dihilangkan oleh waktu. Pada hasilnya, kita memiliki pengalaman atas ketidakpuasan atau penderitaan dari ketidaktetapan ini.
Pada alam Nirwana – Aliran Mahayana – dapat ditemukan kebenaran dan kebahagiaan yang abadi. Nirwana juga merupakan lawan dari persyaratan, sifat fana, dan penderitaan [‘‘dukkha’’], sehingga hasilnya tidak berupa kekecewaan ataupun dari keadaan status kebahagiaan yang memburuk. Nirwana juga perlindungan dari tirani universal dari perubahan dan penderitaan. Menurut ajaran Buddhis yang lain, nirwana tidak dipandang sebagai akhir akan tetapi sebagai projeksi keadaan dari samsara. Menurut ajaran ini, samsara dan nirwana adalah dua sisi pada koin yang sama yang dapat kita lewati dengan latihan meditasi yang giat dan teratur.
[sunting] Anicca
Semua gejala [hal-hal dan pengalaman] adalah berubah-ubah, goyah, dan tidak tetap. Segalanya kita dapat alami melalui pikiran kita yang terdiri dari komponen, dan bergantung pada sisi kanan kondisi-kondisi untuk keberadaannya. Segalanya merupakan perubahan terus menerus yang tetap, dan demikian kondisi-kondisi dan hal tersebut secara konstan berubah. Hal-Hal secara konstan berdiri; mendapat, dan berhenti untuk;menjadi. Tidak ada apapun yang tidak berakhir.
Nilai yang penting di sini adalah gejala itu muncul dan berhenti menurut kondisi-kondisi kompleks dan tidak menurut sikap dan imajinasi kita. Selama kita sudah membatasi kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kepada lingkungan dan kemelekatan kita, pengalaman memberitahukan kita bahwa usaha kita yang lemah adalah bukan jaminan bahwa hasil dari usaha kita adalah untuk kegemaran/kesukaan kita. Lebih sering daripada tidak bahwa, hasil yang kita dapat lebih rendah daripada hasil yang kita harapkan.
[sunting] Anatta
Didalam Filosofi orang India, konsep dari suatu Diri disebut atman (itu adalah, " jiwa" atau diri metafisis), yang mengacu pada suatu inti sari tak berubah-ubah/permanen yang dipahami berdasarkan atas keberadaan. Konsep ini dan konsep Brahman [Vedantic Monistic Ideal] yang dihormati sebagai suatu atman terakhir untuk semua mahluk, dan yang sangat dibutuhkan oleh orang India sebagai metafisika tendensi, logika, dan ilmu pengetahuan; untuk semua hal-hal yang nyata pada suatu dasar dan kenyataan, yang serupa dengan suatu format bersifat persaudaraan. Buddha menolak semua konsep atman, menekankan tidak ada ketetapan, tetapi perubahan/tidak tetap. Ia mengajar bahwa semua konsep dari suatu diri pribadi adalah substansiil salah, dan dibentuk di dalam dunia ketidak-tahuan. Bagaimanapun juga, di dalam sejumlah besar sutra Mahayana ( e.g. Sutra Mahaparinirvana, Sutra Tathagatagarbha, Sutra Srimala, dan lainnya),